Kelana
Oleh :
William Elfrado Candra
Prolog: ini sebuah cerpen remaja yang dibuat untuk penulis berbasis dari pengalaman pribadi dengan beberapa tokoh yang dimunculkan secara fiktif oleh penulis. Selamat menikmati.
Ini
tahun ketigaku di SMP, ya seperti tahun-tahun sebelumnya pergantian tahun
pelajaran diawali dengan penentuan kelas dan tentunya pergantian teman kelas.
Sudah kuprediksi tahun ini aku masuk ke kelas 9C, ya yang katanya kelas
‘unggulan’ yang berisi orang-orang pandai, dan tidak dapat kupungkiri aku
termasuk salah satu diantaranya. Hari pertama kuhabiskan untuk penyesuaian
dengan keadaan dan situasi kelas. Ternyata kelas ini tak seperti kelas yang aku
bayangkan, kelas yang membosankan, berisi anak-anak ‘culun’ dengan wajah
‘suram’ mereka, kelas ini sungguh menyenangkan, mengasyikkan, dengan beberapa
teman yang sebelumnya sudah kukenal aku dapat dengan mudah bersosialisasi
dengan teman yang lainnya. Entah mengapa aku juga dekat dengan banyak anak
cewek di kelas itu. Kita semua suka berbincang, bergurau dan bermain bersama.
Namun entah mengapa dengan salah satu teman cewek yang dulu dekat kini mulai
terasa berbeda, seperti tercipta ruang waktu di antara aku dan dia.
Dia
Veronika teman sekelasku, parasnya cantik, manis, menawan, baik hati, dan tak
tahu mengapa semenjak itu setiap dia panggil namaku, serasa aliran darahku
berhenti, lidahku kaku, mataku tak bisa berkedip. Seketika itu aku pun sadar,
aku telah jatuh cinta dengannya. Meski tak satupun kala itu yang tahu, semakin
hari, aku semakin merasa ruang waktu itu semakin lebar menghalangi aku dan
dirinya. Jujur saja aku yang susah mencintai orang ini merasa kebingungan
ketika akhirnya aku jatuh cinta pada Veronika. Hari ke hari aku coba
menyembunyikan perasaan ini, namun bagaimana bisa teman-teman sekelasku
mengetahui ini semua, mungkin dari caraku berbicara dengannya, atau dari caraku
menatap matanya, ya memang aku tidak pandai untuk berpura-pura.
Teman-teman
pun mulai membuatku kebingungan setiap kali mereka memasangkan aku dengan
Veronika. Sudah tidak ada lagi cara untuk menyembunyikan perasaanku ini,
pikirku. “Sudah, katakan saja.”, kata hati kecilku. “Aku tak bisa.”, balasku.
“Tapi kau harus melakukan itu.”, kata hati kecilku. “Bagaimana caranya?”,
balasku. Perdebatan kecil seperti ini sudah hampir setiap hari terjadi. Akupun
mencoba dengan mengajaknya bicara walau hanya melalui pesan singkat. Semakin
hari aku merasa semakin dekat dengannya. Namun sesuatu terus mengganjal hatiku
untuk mengungkapkan isinya.
Mungkin
hal itu adalah perbedaan keyakinan antara aku dengan dia, tapi munkinkah dia
sepicik itu? Mempersalahkan perbedaan keyakinan? Entahlah. Tapi aku yakin, ini harus segera aku selesaikan, aku
lelaki tak mungkin kubiarkan diriku terlahir sebagai seorang pengecut, tak
terasa momen tepat sudah menghadang di depan mata, ya Valentine. Malam itu aku
pikirkan sebuah strategi sederhana untuk mengungkapkan perasaan ini padanya,
tangan kananku sudah memegang sebatang coklat putih yang pikirku akan kuberikan
pada Veronika besok. Namun gejolak batin itu semakin kuat, aku dikejar-kejar
oleh rasa ketakutan dan kegagalan. Namun dengan tekat yang bulat aku berhasil
menakhlukkan rasa ketakutan itu.
Hari
itu tanggal 14 Februari 2010, coklat putih terbungkus kertas hitam bermotif
hati merah jambu yang indah sudah berada di saku kanan celanaku, tak lupa
kuselipkan sepucuk surat berisikan secarik puisi buatanku di antara bungkusan
kertas itu.
Jawaban
Hati
Dinginnya malam menusuk tulang
Kini di saat purnama tertutup awan kelam
Deru angin memecah kesunyian
Daun dan ranting menari-nari ketakutan di tengah
kegelapan
Hatiku Risau
Kian lama kian gundah
Yang ada di benakku hanyalah kau, kau dan kau
Betapa ingin kuluapkan semua isi hati,
kerinduan, kasih sayang, dan cinta
Tapi pada siapa?
Dia yang kuinginkan
Ya,
dia, kau, kamu, dirimu seorang...
Dengan
langkah tegap dan pasti kudekati meja tempat dia duduk, dari tempatku berdiri
tadi hingga tempatku yang berjarak 1 meter dengan Veronika, jantungku mulai
berdegup sangat kencang serasa berpacu dengan aliran darah menuju ke atas
kepalaku berkumpul di ubun-ubun dan seketika membeku. Entah mengapa dan
bagaimana tiba-tiba mulutku terkunci, aku mengeluarkan keringat dingin, tanpa
pikir panjang aku letakkan coklat itu di atas mejanya dan saat itu juga aku
lari bergegas keluar kelas. Mungkin dia yang tengah berbincang dengan teman
sebangkunya itu bingung melihat tingkahku tadi.
“Guoblok!”,
sambil kuhentakkan tanganku tepat di dahiku. Rencanaku gagal tadinya kuingin
berikan coklat itu lalu kuungkapkan isi hatiku, gagal sudah, namun mungkin
karena kecerdasanku, sudah kusiapkan strategi cadanganku yaitu puisi. Hingga
sore menyingsing kugenggam sebuah ponsel merah hitam , menunggu balasan
darinya. Tak lama, kuterima sebuah pesan singkat dari cewek cantik itu. “Thanks
ya buat coklatnya, puisimu bagus J.”katanya dalam pesan singkat itu. “Ha? Cuma gitu aja?”,
pikirku dalam hati. Mungkin ada sesuatu yang salah dalam puisi itu. Mungkin
waktu itu Veronika berfikir bahwa aku tidak serius menujukan surat itu padanya.
“Gagal total!”, pikirku. Pikiran resah semakin menyelimuti.
Setelah
hari itu semakin tercipta jarak dan perbedaan itu semakin terasa. Aku merasa
ditolak mentah-mentah olehnya, apakah karena perbedaan agama itu? Entahlah,
semakin aku memikirkan itu semuanya terasa runyam. Hingga akhirnya kusadari,
aku sendirilah yang menciptakan perbedaan itu dan kemudian aku ambil sebuah
keputusan yang menurutku itu baik, kuanggap dia memang tak ingin menuai
kepedihan dari indahnya percintaan dan aku, aku bukan seorang pengecut, aku
hanya adalah pengelana yang sedang mencari pengalaman hidup, aku tak bisa
menyalahkan diriku, karena aku adalah aku yang akan terus menjadi diriku sebagai
pengelana cinta.