Analisis Cerpen “Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap”
Oleh : William Elfrado Candra
Cerita
pendek ini merupakan suatu gambaran tentang cinta sejati yang terjadi di sebuah
desa yang masih kental dengan adat istiadat dan kegotongroyongannya. Dengan
pengambilan tokoh Pita pencerita berhasil menciptakan suatu karakter Pita yang
tabah, tekun dan setia. Pencerita juga menciptakan suatu latar yang mendukung
dan menjadi bagian dari awal mula konflik itu tercipta. Konflik dimulai dari
Martohap yang semula memendam perasaan cinta terhadap Pita dapat memperoleh
suatu kesempatan yang berhasil dimanfaatkannya.
“Bibir Martohap memang telah membuat
kuncup bunga di hati Pita mekar bersamaan waktunya dengan sukaria pemuda dan
pemudi sekampungnya. Pada malam itu, mereka sedang menghias sebuah pohon cemara
menjadi pohon Natal. Beberapa pemuda-pemudi sibuk menyelipkan kabel lampu-lampu
kecil di antara daun-daun di sekeliling pohon. Tapi Pita memilih untuk membantu
Martohap menyangkutkan hiasan-hiasan salib dan serpihan-serpihan kapas. Ketika
pekerjaan mereka selesai, semua lampu gereja dimatikan. Kegelapan menyelimuti
mereka. Di balik rimbunnya pohon Natal, Martohap segera merengkuh dan mendekap
tubuh Pita erat-erat. Sebelum seseorang mencolokkan kabel ke stop kontak di
dekat altar gereja, pemuda itu telah selesai menciumnya. Ketika lampu-lampu
pohon Natal itu menyala indah berkelap-kelip, Pita dan Martohap saling tatap
penuh makna. Dan Songgop menatap curiga!”
Dari penggalan
cerpen di atas dapat diketahui bagaimana cara Martohap “mencuri” hati Pita.
Cerpen ini pun semakin menarik karena sang penulis bercerita menggunakan sudut
pandang orang ketiga serba tahu dengan alur penyampaian yang campur antara maju
dan mundur, dimulai dari kehidupan Pita sekarang bertemu dengan Martohap,
pencerita menceritakan kembali kejadian dahulu Pita dengan Martohap, kemudian
kembali lagi ke kehidupan Pita sekarang. Ini sangat menarik karena membuat
pembaca merasa ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada masa lampau dari
tokoh Pita dan Martohap.
Latar tempat
yang diciptakan di cerpen ini yaitu di sebuah kampung yang dulunya pernah
terjadi demonstrasi penolakan adanya pabrik bubur kertas, pabrik itu di demo
karena telah mencemarkan ligkungan desa mereka.
“Seminggu sebelum pesta pernikahannya
dilaksanakan, terjadi demonstrasi besar-besaran yang menuntut agar sebuah
pabrik bubur kertas ditutup. Masyarakat dari empat kampung di sekitar lokasi
pabrik bubur kertas itu bergerak serentak menebangi pohon-pohon di hutan
tanaman industri. Batang-batang pohon itu diseret untuk memalang jalan.
Dahan-dahannya dibiarkan berserakan di tengah jalan. Pohon besar di pinggir
jalan, yang batangnya berdiameter setengah meter, turut ditebang untuk memalang
jalan. Bahkan batu gunung dilinggis beramai-ramai hingga menggelinding ke
tengah jalan. Ribuan masyarakat berdiri di pinggir jalan sambil membawa
spanduk-spanduk tuntutan mereka, ”Jangan biarkan bau busuk merusak kehidupan
kami”. ”Stop menebar racun di Tanah Toba!”.”
Pita
merupakan tokoh yang mengalami konflik batin dengan Martohap yang sudah 25
tahun tak ditemuinya namun sekarang ia telah bertemunya. Pita merupakan sosok
yang tegar namun rapuh. Dia juga merupakan wanita yang sangat setia terhadap
cintanya.
“Di
dalam kamarnya yang terletak di belakang kedai tuaknya, dia tak mampu menahan
air matanya walaupun tak tahu pasti apa sesungguhnya yang dia tangisi. Apakah
dia menangis karena terharu akan pertemuan itu atau menangis karena menyesal
telah memberikan hatinya kepada lelaki itu. Gara-gara lelaki itu, tak ada lagi
hati yang tersisa untuk dia berikan kepada lelaki lain.”
Di lain paragraf juga menyimpulkan
bahwa memang tokoh Pita cenderung sebagai probadi yang cengeng dan rapuh namun
ia pandai untuk menyikapi kelemahannya untuk terlihat tegar.
”Pulanglah!” kata Pita ketus. Hatinya
meradang. Dengan sigap dia bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu
sebelum air matanya sempat menetes.”
Sedangkan
tokoh Martohap adalah seorang tokoh yang pengecut namun setia pada cintanya.
Terbukti ketika ia dikabarkan pergi dari kampungnya meski tidak diketahui pasti
sebab kepergiannya namun kita sudah menduga bahwa kepergiannya adalah merupakan
suatu caranya menghindari hal yang akan menyakitinya, dan setelah 25 tahun
ternyata ia masih mencintai tokoh Pita dalam cerita bahkan ia belum pernah
menikahi seorang pun hingga saat itu ia bertemu dengan sosok Pita lagi.
”Kepala kampung yang baru itu langsung
ditunjuk oleh pemerintah.” Pada saat yang sama, calon mertua Pita menyatakan
tak akan mundur dari jabatannya. Sejak saat itu demonstrasi yang dilaksanakan
terpecah dua. Ada kubu yang mendukung. Ada kubu yang menolak. Dan sejak saat
itu pula, Songgop, pemuda yang akan menikahinya menghilang. Dia dicap sebagai
salah seorang aktivis yang membantu bapaknya mempersiapkan demonstrasi
besar-besaran itu.
Martohap juga menghilang. Masyarakat di
kampungnya menganggap dia melarikan diri karena kalah memperebutkan Pita, si
perempuan kampung yang cantik dan cerdas. Tapi Pita menganggap Martohap yang
menjadi pemenang. Dia telah mencicipi manisnya bibir pemuda itu.”
Namun
di paragraf berikutnya melalui konflik batin tokoh Mrtohap dapat diketahui
alasan dari kepergiannya dahulu. Ternyata benar dugaan pembaca bahwa Martohap
menghindari kesakitan yang sudah menanti di depan matanya.
“Martohap terkejut. Matanya sempat
berbinar. Dia baru tahu kalau pernikahan itu tak pernah dilaksanakan, padahal
rencana pernikahan itu yang membuat dia mempertaruhkan nasibnya di perantauan
dan selama dua puluh tahun membuatnya takut untuk pulang.”
Di sisi lain karena
Martohap kurang bersabar dan terlalu terburu-buru pergi sampai ia tidak
mengetahui bahwa sebenarnya Pita juga menyimpan rasa cinta kepadanya. Ini merupakan
suatu kesimpulan yang dibuat oleh penulis dan berfungsi sebagai peyakinan
pembaca oleh penulis. Karena pada paragraf-paragraf sebelumnya penulis telah
memberitahukan kepada pembaca bahwa Pita juga mencintai Martohap melalui
percakapan batinnya. Sebaliknya bagi tokoh Martohap ini adalah suatu kejutan
yang sangat besar baginya meski hingga akhir cerpen ini ia tidak tahu bahwa
Pita juga menyimpan rasa cinta untuknya.
“Martohap terkejut. Matanya sempat
berbinar. Dia baru tahu kalau pernikahan itu tak pernah dilaksanakan, padahal
rencana pernikahan itu yang membuat dia mempertaruhkan nasibnya di perantauan
dan selama dua puluh tahun membuatnya takut untuk pulang.”
Dari
cerita ini dapat diambil beberapa amanat, hendaknya kita secepatnya
menyampaikan perasaan kita pada orang yang kita cintai karena tak semua cerita
berakhir demikian, akhir yang demikian merupakan suatu keberuntungan yang
diciptakan penulis, jika saja Martohap dan Pita saling mengungkapkan dari awal
tak perlu selama itu untuk bersatu, bahkan hingga akhir cerita mereka belum
saling mengungkapkan perasaan cinta mereka. Terutama seorang lelaki itu
seharusnya lebih berani mengungkapkan perasaannya untuk menhindari terjadinya
kekecewaan di kemudian hari, meski telah mengungkapkan perasaan kemudian di
tolak hendaknya ia tidak putus asa melainkan merasa lega karena ia tak perlu
menunggu terlalu lama tanpa ada sebuah kepastian di akhirnya.
Penulis
sangat sukses dalam membawa emosi pembaca di dalam ceritanya hingga di bagian
akhir cerita juga membuat suatu akhir yang mengantung sehingga menyebabkan
pembaca ingin mengetahui kelanjutan ceritanya dan bahkan karena hanya merupakan
sebuah cerpen, pembaca juga dapat mengimajinasikan bagaimana nanti cerita itu
berakhir.
No comments:
Post a Comment