Tuesday, October 23, 2012

Analisis Cerpen “Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap”


Analisis Cerpen “Ada Cerita di Kedai Tuak Martohap”
Oleh : William Elfrado Candra

Cerita pendek ini merupakan suatu gambaran tentang cinta sejati yang terjadi di sebuah desa yang masih kental dengan adat istiadat dan kegotongroyongannya. Dengan pengambilan tokoh Pita pencerita berhasil menciptakan suatu karakter Pita yang tabah, tekun dan setia. Pencerita juga menciptakan suatu latar yang mendukung dan menjadi bagian dari awal mula konflik itu tercipta. Konflik dimulai dari Martohap yang semula memendam perasaan cinta terhadap Pita dapat memperoleh suatu kesempatan yang berhasil dimanfaatkannya.
“Bibir Martohap memang telah membuat kuncup bunga di hati Pita mekar bersamaan waktunya dengan sukaria pemuda dan pemudi sekampungnya. Pada malam itu, mereka sedang menghias sebuah pohon cemara menjadi pohon Natal. Beberapa pemuda-pemudi sibuk menyelipkan kabel lampu-lampu kecil di antara daun-daun di sekeliling pohon. Tapi Pita memilih untuk membantu Martohap menyangkutkan hiasan-hiasan salib dan serpihan-serpihan kapas. Ketika pekerjaan mereka selesai, semua lampu gereja dimatikan. Kegelapan menyelimuti mereka. Di balik rimbunnya pohon Natal, Martohap segera merengkuh dan mendekap tubuh Pita erat-erat. Sebelum seseorang mencolokkan kabel ke stop kontak di dekat altar gereja, pemuda itu telah selesai menciumnya. Ketika lampu-lampu pohon Natal itu menyala indah berkelap-kelip, Pita dan Martohap saling tatap penuh makna. Dan Songgop menatap curiga!”
Dari penggalan cerpen di atas dapat diketahui bagaimana cara Martohap “mencuri” hati Pita. Cerpen ini pun semakin menarik karena sang penulis bercerita menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu dengan alur penyampaian yang campur antara maju dan mundur, dimulai dari kehidupan Pita sekarang bertemu dengan Martohap, pencerita menceritakan kembali kejadian dahulu Pita dengan Martohap, kemudian kembali lagi ke kehidupan Pita sekarang. Ini sangat menarik karena membuat pembaca merasa ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada masa lampau dari tokoh Pita dan Martohap.
Latar tempat yang diciptakan di cerpen ini yaitu di sebuah kampung yang dulunya pernah terjadi demonstrasi penolakan adanya pabrik bubur kertas, pabrik itu di demo karena telah mencemarkan ligkungan desa mereka.
“Seminggu sebelum pesta pernikahannya dilaksanakan, terjadi demonstrasi besar-besaran yang menuntut agar sebuah pabrik bubur kertas ditutup. Masyarakat dari empat kampung di sekitar lokasi pabrik bubur kertas itu bergerak serentak menebangi pohon-pohon di hutan tanaman industri. Batang-batang pohon itu diseret untuk memalang jalan. Dahan-dahannya dibiarkan berserakan di tengah jalan. Pohon besar di pinggir jalan, yang batangnya berdiameter setengah meter, turut ditebang untuk memalang jalan. Bahkan batu gunung dilinggis beramai-ramai hingga menggelinding ke tengah jalan. Ribuan masyarakat berdiri di pinggir jalan sambil membawa spanduk-spanduk tuntutan mereka, ”Jangan biarkan bau busuk merusak kehidupan kami”. ”Stop menebar racun di Tanah Toba!”.”
            Pita merupakan tokoh yang mengalami konflik batin dengan Martohap yang sudah 25 tahun tak ditemuinya namun sekarang ia telah bertemunya. Pita merupakan sosok yang tegar namun rapuh. Dia juga merupakan wanita yang sangat setia terhadap cintanya.
“Di dalam kamarnya yang terletak di belakang kedai tuaknya, dia tak mampu menahan air matanya walaupun tak tahu pasti apa sesungguhnya yang dia tangisi. Apakah dia menangis karena terharu akan pertemuan itu atau menangis karena menyesal telah memberikan hatinya kepada lelaki itu. Gara-gara lelaki itu, tak ada lagi hati yang tersisa untuk dia berikan kepada lelaki lain.”
            Di lain paragraf juga menyimpulkan bahwa memang tokoh Pita cenderung sebagai probadi yang cengeng dan rapuh namun ia pandai untuk menyikapi kelemahannya untuk terlihat tegar.
”Pulanglah!” kata Pita ketus. Hatinya meradang. Dengan sigap dia bangkit dari kursinya. Ditinggalkannya lelaki itu sebelum air matanya sempat menetes.”
            Sedangkan tokoh Martohap adalah seorang tokoh yang pengecut namun setia pada cintanya. Terbukti ketika ia dikabarkan pergi dari kampungnya meski tidak diketahui pasti sebab kepergiannya namun kita sudah menduga bahwa kepergiannya adalah merupakan suatu caranya menghindari hal yang akan menyakitinya, dan setelah 25 tahun ternyata ia masih mencintai tokoh Pita dalam cerita bahkan ia belum pernah menikahi seorang pun hingga saat itu ia bertemu dengan sosok Pita lagi.
”Kepala kampung yang baru itu langsung ditunjuk oleh pemerintah.” Pada saat yang sama, calon mertua Pita menyatakan tak akan mundur dari jabatannya. Sejak saat itu demonstrasi yang dilaksanakan terpecah dua. Ada kubu yang mendukung. Ada kubu yang menolak. Dan sejak saat itu pula, Songgop, pemuda yang akan menikahinya menghilang. Dia dicap sebagai salah seorang aktivis yang membantu bapaknya mempersiapkan demonstrasi besar-besaran itu.
Martohap juga menghilang. Masyarakat di kampungnya menganggap dia melarikan diri karena kalah memperebutkan Pita, si perempuan kampung yang cantik dan cerdas. Tapi Pita menganggap Martohap yang menjadi pemenang. Dia telah mencicipi manisnya bibir pemuda itu.”
            Namun di paragraf berikutnya melalui konflik batin tokoh Mrtohap dapat diketahui alasan dari kepergiannya dahulu. Ternyata benar dugaan pembaca bahwa Martohap menghindari kesakitan yang sudah menanti di depan matanya.
“Martohap terkejut. Matanya sempat berbinar. Dia baru tahu kalau pernikahan itu tak pernah dilaksanakan, padahal rencana pernikahan itu yang membuat dia mempertaruhkan nasibnya di perantauan dan selama dua puluh tahun membuatnya takut untuk pulang.”
Di sisi lain karena Martohap kurang bersabar dan terlalu terburu-buru pergi sampai ia tidak mengetahui bahwa sebenarnya Pita juga menyimpan rasa cinta kepadanya. Ini merupakan suatu kesimpulan yang dibuat oleh penulis dan berfungsi sebagai peyakinan pembaca oleh penulis. Karena pada paragraf-paragraf sebelumnya penulis telah memberitahukan kepada pembaca bahwa Pita juga mencintai Martohap melalui percakapan batinnya. Sebaliknya bagi tokoh Martohap ini adalah suatu kejutan yang sangat besar baginya meski hingga akhir cerpen ini ia tidak tahu bahwa Pita juga menyimpan rasa cinta untuknya.
“Martohap terkejut. Matanya sempat berbinar. Dia baru tahu kalau pernikahan itu tak pernah dilaksanakan, padahal rencana pernikahan itu yang membuat dia mempertaruhkan nasibnya di perantauan dan selama dua puluh tahun membuatnya takut untuk pulang.”
            Dari cerita ini dapat diambil beberapa amanat, hendaknya kita secepatnya menyampaikan perasaan kita pada orang yang kita cintai karena tak semua cerita berakhir demikian, akhir yang demikian merupakan suatu keberuntungan yang diciptakan penulis, jika saja Martohap dan Pita saling mengungkapkan dari awal tak perlu selama itu untuk bersatu, bahkan hingga akhir cerita mereka belum saling mengungkapkan perasaan cinta mereka. Terutama seorang lelaki itu seharusnya lebih berani mengungkapkan perasaannya untuk menhindari terjadinya kekecewaan di kemudian hari, meski telah mengungkapkan perasaan kemudian di tolak hendaknya ia tidak putus asa melainkan merasa lega karena ia tak perlu menunggu terlalu lama tanpa ada sebuah kepastian di akhirnya.
            Penulis sangat sukses dalam membawa emosi pembaca di dalam ceritanya hingga di bagian akhir cerita juga membuat suatu akhir yang mengantung sehingga menyebabkan pembaca ingin mengetahui kelanjutan ceritanya dan bahkan karena hanya merupakan sebuah cerpen, pembaca juga dapat mengimajinasikan bagaimana nanti cerita itu berakhir.

No comments:

Post a Comment