Saturday, October 27, 2012

Kelana


Kelana
Oleh : William Elfrado Candra

Prolog: ini sebuah cerpen remaja yang dibuat untuk penulis berbasis dari pengalaman pribadi dengan beberapa tokoh yang dimunculkan secara fiktif oleh penulis. Selamat menikmati.

Ini tahun ketigaku di SMP, ya seperti tahun-tahun sebelumnya pergantian tahun pelajaran diawali dengan penentuan kelas dan tentunya pergantian teman kelas. Sudah kuprediksi tahun ini aku masuk ke kelas 9C, ya yang katanya kelas ‘unggulan’ yang berisi orang-orang pandai, dan tidak dapat kupungkiri aku termasuk salah satu diantaranya. Hari pertama kuhabiskan untuk penyesuaian dengan keadaan dan situasi kelas. Ternyata kelas ini tak seperti kelas yang aku bayangkan, kelas yang membosankan, berisi anak-anak ‘culun’ dengan wajah ‘suram’ mereka, kelas ini sungguh menyenangkan, mengasyikkan, dengan beberapa teman yang sebelumnya sudah kukenal aku dapat dengan mudah bersosialisasi dengan teman yang lainnya. Entah mengapa aku juga dekat dengan banyak anak cewek di kelas itu. Kita semua suka berbincang, bergurau dan bermain bersama. Namun entah mengapa dengan salah satu teman cewek yang dulu dekat kini mulai terasa berbeda, seperti tercipta ruang waktu di antara aku dan dia.
Dia Veronika teman sekelasku, parasnya cantik, manis, menawan, baik hati, dan tak tahu mengapa semenjak itu setiap dia panggil namaku, serasa aliran darahku berhenti, lidahku kaku, mataku tak bisa berkedip. Seketika itu aku pun sadar, aku telah jatuh cinta dengannya. Meski tak satupun kala itu yang tahu, semakin hari, aku semakin merasa ruang waktu itu semakin lebar menghalangi aku dan dirinya. Jujur saja aku yang susah mencintai orang ini merasa kebingungan ketika akhirnya aku jatuh cinta pada Veronika. Hari ke hari aku coba menyembunyikan perasaan ini, namun bagaimana bisa teman-teman sekelasku mengetahui ini semua, mungkin dari caraku berbicara dengannya, atau dari caraku menatap matanya, ya memang aku tidak pandai untuk berpura-pura.
Teman-teman pun mulai membuatku kebingungan setiap kali mereka memasangkan aku dengan Veronika. Sudah tidak ada lagi cara untuk menyembunyikan perasaanku ini, pikirku. “Sudah, katakan saja.”, kata hati kecilku. “Aku tak bisa.”, balasku. “Tapi kau harus melakukan itu.”, kata hati kecilku. “Bagaimana caranya?”, balasku. Perdebatan kecil seperti ini sudah hampir setiap hari terjadi. Akupun mencoba dengan mengajaknya bicara walau hanya melalui pesan singkat. Semakin hari aku merasa semakin dekat dengannya. Namun sesuatu terus mengganjal hatiku untuk mengungkapkan isinya.
Mungkin hal itu adalah perbedaan keyakinan antara aku dengan dia, tapi munkinkah dia sepicik itu? Mempersalahkan perbedaan keyakinan? Entahlah. Tapi aku  yakin, ini harus segera aku selesaikan, aku lelaki tak mungkin kubiarkan diriku terlahir sebagai seorang pengecut, tak terasa momen tepat sudah menghadang di depan mata, ya Valentine. Malam itu aku pikirkan sebuah strategi sederhana untuk mengungkapkan perasaan ini padanya, tangan kananku sudah memegang sebatang coklat putih yang pikirku akan kuberikan pada Veronika besok. Namun gejolak batin itu semakin kuat, aku dikejar-kejar oleh rasa ketakutan dan kegagalan. Namun dengan tekat yang bulat aku berhasil menakhlukkan rasa ketakutan itu.
Hari itu tanggal 14 Februari 2010, coklat putih terbungkus kertas hitam bermotif hati merah jambu yang indah sudah berada di saku kanan celanaku, tak lupa kuselipkan sepucuk surat berisikan secarik puisi buatanku di antara bungkusan kertas itu.

Jawaban Hati
Dinginnya malam menusuk tulang
Kini di saat purnama tertutup awan kelam
Deru angin memecah kesunyian
Daun dan ranting menari-nari ketakutan di tengah kegelapan

Hatiku Risau
Kian lama kian gundah
Yang ada di benakku hanyalah kau, kau dan kau
Betapa ingin kuluapkan semua isi hati,
kerinduan, kasih sayang, dan cinta
Tapi pada siapa?
Dia yang kuinginkan
Ya, dia, kau, kamu, dirimu seorang...

Dengan langkah tegap dan pasti kudekati meja tempat dia duduk, dari tempatku berdiri tadi hingga tempatku yang berjarak 1 meter dengan Veronika, jantungku mulai berdegup sangat kencang serasa berpacu dengan aliran darah menuju ke atas kepalaku berkumpul di ubun-ubun dan seketika membeku. Entah mengapa dan bagaimana tiba-tiba mulutku terkunci, aku mengeluarkan keringat dingin, tanpa pikir panjang aku letakkan coklat itu di atas mejanya dan saat itu juga aku lari bergegas keluar kelas. Mungkin dia yang tengah berbincang dengan teman sebangkunya itu bingung melihat tingkahku tadi.
“Guoblok!”, sambil kuhentakkan tanganku tepat di dahiku. Rencanaku gagal tadinya kuingin berikan coklat itu lalu kuungkapkan isi hatiku, gagal sudah, namun mungkin karena kecerdasanku, sudah kusiapkan strategi cadanganku yaitu puisi. Hingga sore menyingsing kugenggam sebuah ponsel merah hitam , menunggu balasan darinya. Tak lama, kuterima sebuah pesan singkat dari cewek cantik itu. “Thanks ya buat coklatnya, puisimu bagus J.”katanya dalam pesan singkat itu. “Ha? Cuma gitu aja?”, pikirku dalam hati. Mungkin ada sesuatu yang salah dalam puisi itu. Mungkin waktu itu Veronika berfikir bahwa aku tidak serius menujukan surat itu padanya. “Gagal total!”, pikirku. Pikiran resah semakin menyelimuti.
Setelah hari itu semakin tercipta jarak dan perbedaan itu semakin terasa. Aku merasa ditolak mentah-mentah olehnya, apakah karena perbedaan agama itu? Entahlah, semakin aku memikirkan itu semuanya terasa runyam. Hingga akhirnya kusadari, aku sendirilah yang menciptakan perbedaan itu dan kemudian aku ambil sebuah keputusan yang menurutku itu baik, kuanggap dia memang tak ingin menuai kepedihan dari indahnya percintaan dan aku, aku bukan seorang pengecut, aku hanya adalah pengelana yang sedang mencari pengalaman hidup, aku tak bisa menyalahkan diriku, karena aku adalah aku yang akan terus menjadi diriku sebagai pengelana cinta.

No comments:

Post a Comment